Kita sewujud pelaut yang tak berhenti
bernavigasi, mencari arah, mencari tanda, hanya terkadang badai datang tanpa
arah dan pertanda.
Pria
itu terduduk lemas di kursinya. Kakinya yang terlihat kokoh sedikit gemetar.
Raut mukanya yang keras berubah gentar. Ia menatap nanar wanita berjas putih di
depannya.
“Lepra?”
aku membaca gerak bibirnya, suaranya hanya serupa napas yang tercekat karena
menahan air mata.
“Penyakit
Bapak bisa sembuh,” wanita berkacamata di hadapannya berusaha menenangkan,”Sangat
bisa jika diobati dengan benar”.
Pria
itu menggeleng keras, seakan kalimat tadi tidak pernah terlontar dari mulut
sang dokter, seakan lepra adalah hukuman mati. Setetes air mata bergulir
mengikuti garis pipinya yang mulai berkerut. Ia cepat-cepat menyekanya, sekilas
aku dapat melihat urat-urat besar yang saling menyilang di sana sebelum ia
kembali menyembunyikan kedua tangannya di atas meja. Entah sudah berapa banyak keringat yang ia
cucurkan untuk menghidupi keluarganya, entah sudah berapa banyak beban yang
harus dipikulnya.
Samar-samar
Bapak itu melirik ke sebelah kanannya, ke arah seorang pria berkacamata dan
berkemeja kotak-kotak yang mengantarnya datang. Usianya kira-kira sepuluh tahun
lebih muda daripada Si Bapak. Baru kali ini aku melihat seorang majikan datang
mengantar anak buahnya. Bapak ini pastilah seorang hamba yang setia dan pekerja
keras.
“Menular,
Dok?” sang majikan berdeham, pelan-pelan ia menggeser duduknya ke kanan,
menjauhi Bapak itu. Aku melihat Si Bapak hanya bergeming di tempatnya, mungkin
sedang sibuk mempertahankan dunianya yang perlahan runtuh, mungkin sedang
membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang asing ketika orang-orang di
sekitarnya satu per satu akan menjauhinya, mungkin sedang sibuk memikirkan
bagaimana nasib keluargnya jika majikan di sebelahnya ini nanti memecatnya.
Jakarta,
10 Juni 2014
No comments:
Post a Comment