Gue nggak pernah tahu kalau menjadi dewasa itu mahal harganya. Dan harga yang harus gue bayar untuk menjadi dewasa adalah elo.—Lydia.
Elo
inget? Gue nggak pernah suka berulang tahun. Tambah usia, tambah dewasa, tambah
tanggung jawab, berhenti bermain. I hate growing up. People will expect us
more, will judge us when we do something childish. Dan ketika gue memikirkan
itu—menjadi dewasa, elo tahu satu hal yang bisa membuat gue tenang? Elo.
Seenggaknya elo juga bertambah dewasa, setidaknya kita sama-sama beranjak
dewasa. Paling tidak, gue punya seseorang yang bisa jadi tempat gue berhenti
menjadi dewasa.
Tapi
sebagian dari pikiran gue ternyata salah. We do grow up. Tapi nggak bersama.
Bukan. Bukan karena gue kuliah di Jerman dan elo di Indonesia, bukan karena
jarak kita terpaut oleh luasnya benua dan samudra, bukan karena kita hidup
dalam time frame yang berbeda, bukan
karena kita berbicara dalam bahasa sehari-hari yang berbeda kini.
Sama
sekali bukan karena itu semua. Kita terpisah bukan karena jarak, tempat, dan
waktu. Tapi karena kita berhenti saling bicara, berhenti saling berbagi,
berhenti saling bertemu.
Dua
tahun sejak kita lulus SMA, dua tahun sejak kita menghabiskan malam di Bandung
sebelum gue berangkat ke Jerman, gue nggak habis pikir kita belum pernah
bertemu lagi. Maaf kalau gue cuma pulang setahun sekali. Tapi, apa sesusah itu
meluangkan waktu lo buat gue di antara 365 hari yang lo miliki? Apa kuliah
kedokteran se-hard core itu, sampai
lo harus kerja rodi belajar tiap hari tanpa jeda? Don’t you remember? I’m
taking med-school too. Dalam bahasa yang jauh lebih rumit, dan rasanya sekolah
kedokteran nggak gitu-gitu amat kok.
Elo
selalu minta maaf ketika lo nggak bisa bertemu saat gue ajak. Terlalu sering
sampai kata maaf itu udah kehilangan maknanya buat gue. Terlalu sering sampai
gue memilih untuk berhenti berharap kita bisa bertemu, memilih untuk berhenti
mengajak bertemu. Gue terlalu kenyang dengan segala alasan kegiatan kampus lo
yang segudang dan agenda belajar lo. Can
you drop it off for a second?
Gue
kangen elo yang selalu ada buat gue, gue kangen melakukan hal-hal bodoh bersama
elo. Gue pengen cerita tentang cowok yang gue temui di Jerman, tentang betapa
beratnya belajar kedokteran dalam bahasa yang ribet itu, tentang dosen yang
selalu bisa membuat gue tertidur, tentang diskriminasi di sana, tentang musim
dingin yang selalu membuat gue tersenyum, tentang makanan-makanan enak di sana.
Gue ingin cerita banyak hal dan mendengar banyak hal dari elo. Bagaimana hidup
lo yang sekarang?
How’s life? Are you OK? Udah punya
cowok? Masih doyan berburu di ZARA waktu sale?
Masih ngefans sama tatonya Adam Levine yang gross
itu? Gosh, I miss our moments.
Dan itu nggak cukup dengan hanya twit 120 karakter atau BBM-an. We need to sit, talk like we haven’t met for
centuries.
Gue
nggak tahu apa elo hanya berhenti bertemu gue atau berhenti juga bertemu dengan
teman-teman yang lain. Tapi kalau elo mengorbankan kehidupan lo yang sekarang demi masa depan, it’s not worth
it. You don’t save life, by
sacrificing your own. That’s not how it works. Elo baru bisa menolong orang
ketika kehidupan pribadi lo sendiri beres, ketika lo bisa bersyukur dan bahagia
atas hidup lo. Dan gue harap kehidupan lo baik-baik aja.
I terribly miss you, Sarah. I miss us.
*terinspirasi dari seorang teman yang kuliah di Jerman dan belum ketemu lagi sama sahabatnya sejak lulus sekolah. Karakter dan adegan adalah hasil rekayasa dan tentu saja didramatisir :"
No comments:
Post a Comment