Kamu
percaya pada peri?
Waktu
kecil aku begitu tergila-gila pada cerita Peter Pan. Ralat, sampai sekarang pun
masih. Aku selalu membayangkan seperti apa rasanya mandi serbuk peri, terbang
melintasi London, menyentuh awan, dan yang paling ingin aku rasakan: mendarat
di atas jarum jam Big Ben; menari di sana tepat saat loncengnya berdentang.
Pasti menakjubkan.
“Oi,”
sebuah kaleng minuman dingin menempel di pipiku, mengembalikanku ke
Bukit Tinggi yang sedang terik-teriknya.
“Thanks,”
aku menerima pemberiannya.
“Bagaimana?”
suara dalam dan serius lawan bicaraku membuatku menegang, serentak kewaspadaan
yang tadi sempat luruh kembali memagariku.
“Kenapa
harus siang hari seperti ini?” Aku menatap jam gadang di hadapanku, keluarga
atau pasangan yang tengah menikmati ruang terbuka di sekitarnya; para pedagang
yang sedang mencari nafkah; anak-anak yang berlarian sambil meniup gelembung
sabun. Lalu aku kembali mengingat tujuan kami. Ototku langsung lemas. Tegakah
aku melakukannya kali ini? Di tempat semenyenangkan ini? Dan terutama di tempat
yang terlalu mirip dengan jam terbesar di Inggris—kenangan masa kecil yang
selalu menjadi alasanku untuk pulang menemuinya.
“Kita
tahu target hanya datang di jam seperti ini,” Yanos, rekanku menjawab, lalu
memberiku kode untuk segera bergerak.
Aku
mengikutinya masuk ke dalam jam yang sejak tadi kuamati. Kami menaiki anak-anak
tangga secepat mungkin namun dengan ketenangan yang nyaris tak dapat dipercaya.
Aku menikmati bagian dalam jam itu, bagaimanapun jam ini terlalu mirip dengan
Big Ben—mereka bilang mesin jam ini sama dengan yang di London, membuatku tidak
dapat mencegah bayangan liar yang berebut tempat di otakku. Membuatku kembali
mengingat alasan utama aku rela melakukan semua ini.
Yanos
kembali memberiku kode saat kami tiba di bagian utama menara, tempat kami bisa melihat
jarum jam bergerak menunjuk angka. Tapi kami tidak sendiri. Di sana, kurang
dari dua meter jauhnya, berdiri seorang anak laki-laki yang harus menanggung
penderitaan akibat keegoisanku.
Yanos
memberi isyarat lagi, kali ini aku tidak bisa membantah. Ia memaksaku bergerak.
Aku
menarik napas dalam, dan dengan kecepatan tinggi aku menghampirinya. Ia tidak
menyadari sampai aku berhasil membekap mulutnya. “Maaf,” bisikku, sambil
menusukkan jarum suntik ke pembuluh darah lehernya. Tubuh anak itu melemah,
sampai akhirnya aku harus menopang seluruh beratnya. “Maaf,” Aku memeluk anak
itu, dan untuk pertama kalinya selama aku melakukan ini, air mata menegurku.
picturetakenfrom:gogel-sonay.blogspot.com |
No comments:
Post a Comment