Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kamu percaya pada peri?

Waktu kecil aku begitu tergila-gila pada cerita Peter Pan. Ralat, sampai sekarang pun masih. Aku selalu membayangkan seperti apa rasanya mandi serbuk peri, terbang melintasi London, menyentuh awan, dan yang paling ingin aku rasakan: mendarat di atas jarum jam Big Ben; menari di sana tepat saat loncengnya berdentang. Pasti menakjubkan.

“Oi,” sebuah kaleng minuman dingin menempel di pipiku, mengembalikanku ke Bukit Tinggi yang sedang terik-teriknya.

“Thanks,” aku menerima pemberiannya.

“Bagaimana?” suara dalam dan serius lawan bicaraku membuatku menegang, serentak kewaspadaan yang tadi sempat luruh kembali memagariku.

“Kenapa harus siang hari seperti ini?” Aku menatap jam gadang di hadapanku, keluarga atau pasangan yang tengah menikmati ruang terbuka di sekitarnya; para pedagang yang sedang mencari nafkah; anak-anak yang berlarian sambil meniup gelembung sabun. Lalu aku kembali mengingat tujuan kami. Ototku langsung lemas. Tegakah aku melakukannya kali ini? Di tempat semenyenangkan ini? Dan terutama di tempat yang terlalu mirip dengan jam terbesar di Inggris—kenangan masa kecil yang selalu menjadi alasanku untuk pulang menemuinya.

“Kita tahu target hanya datang di jam seperti ini,” Yanos, rekanku menjawab, lalu memberiku kode untuk segera bergerak.

Aku mengikutinya masuk ke dalam jam yang sejak tadi kuamati. Kami menaiki anak-anak tangga secepat mungkin namun dengan ketenangan yang nyaris tak dapat dipercaya. Aku menikmati bagian dalam jam itu, bagaimanapun jam ini terlalu mirip dengan Big Ben—mereka bilang mesin jam ini sama dengan yang di London, membuatku tidak dapat mencegah bayangan liar yang berebut tempat di otakku. Membuatku kembali mengingat alasan utama aku rela melakukan semua ini.

Yanos kembali memberiku kode saat kami tiba di bagian utama menara, tempat kami bisa melihat jarum jam bergerak menunjuk angka. Tapi kami tidak sendiri. Di sana, kurang dari dua meter jauhnya, berdiri seorang anak laki-laki yang harus menanggung penderitaan akibat keegoisanku.

Yanos memberi isyarat lagi, kali ini aku tidak bisa membantah. Ia memaksaku bergerak.

Aku menarik napas dalam, dan dengan kecepatan tinggi aku menghampirinya. Ia tidak menyadari sampai aku berhasil membekap mulutnya. “Maaf,” bisikku, sambil menusukkan jarum suntik ke pembuluh darah lehernya. Tubuh anak itu melemah, sampai akhirnya aku harus menopang seluruh beratnya. “Maaf,” Aku memeluk anak itu, dan untuk pertama kalinya selama aku melakukan ini, air mata menegurku.

picturetakenfrom:gogel-sonay.blogspot.com

No comments:

Post a Comment