Monday, March 5, 2012

Menangislah


Aku tertawa.

Kamu diam.

Aku masih tertawa, sambil sesekali menyeka air mataku.

Lagi-lagi kamu bergeming. Hanya menatapku. Aku bahkan tidak bisa membaca arti sorotmu itu.

Tawaku mereda, namun masih terdengar sisanya.

Pelan… pelan… hingga akhirnya berhenti.

Hening. Kita sama-sama diam.

Aku menunggumu mengatakan sesuatu. Mengomel tentang betapa bodohnya aku, atau menertawai nasibku yang benar-benar sial. Tapi tidak sepatah kata pun kamu ucapkan. Kenapa?

Aku menatapmu.

“Menangislah,” katamu akhirnya.

Aku memandangmu bingung. Saat orang-orang lain berkata jangan menangisi yang sudah terjadi, mengapa kamu mengatakan sebaliknya?

“Menangislah,” kamu berkata lagi. Kali ini sambil membelai kepalaku lembut. Aneh. Sentuhanmu seolah mengenai lukaku. Sakit. Tenggorokanku tercekat. Aku menunduk dalam-dalam.

Kamu menarikku ke dalam pelukanmu.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

Kamu diam, hanya mengelus punggungku. Menungguku mengeluarkan apa yang selama ini aku sembunyikan.

Perlahan air mataku meluruh. Aku mulai terisak, hingga akhirnya menangis tersedu-sedu.

“Bodohnya aku… Percaya pada laki-laki seperti itu… Harusnya aku mempercayaimu… Harusnya aku tidak terlalu mudah jatuh cinta…” tuturku dengan napas putus-putus,”Ini semua salahku…”

“Tidak pernah ada kata salah dalam hidup,” kamu mengurai pelukanmu dan menatapku dalam,”Kamu hari ini adalah hasil kesalahanmu yang dulu. Air matamu hari ini akan membuatmu menjadi lebih baik”.

No comments:

Post a Comment